Menulis sebagai Terapi

Dua hari ini kami PCPM mendapatkan pelatihan general writing skills. Kelasku, kelas B, diajar oleh seorang trainer berlatar belakang jurnalis dan sepertinya umur beliau sudah hampir kepala lima. Saat memberikan komentar pada tulisan salah satu teman yang bercerita mengenai orang paling penting dalam hidup, beliau menyeletuk bahwa tulisan bisa menjadi semacam terapi.

Di situ aku tersentak. I was doing it all this time. Bagiku menulis adalah ekspresi hati. Makanya sebagian besar isi blog ini tidak penting. Cuma curhat doang. Tulisan mengalir begitu saja dari tangan, kata-kata pun meluncur tanpa melalui pemikiran panjang tetapi menggambarkan emosiku saat itu. Sembari menulis sebenarnya aku sedang berkomunikasi dengan diriku sendiri. Tiba-tiba saja tulisan yang awalnya berisi emosi negatif mendadak penuh kata-kata positif karena sebenarnya hatiku tahu apa yang benar dan seharusnya dilakukan.

Sebelum kenal yang namanya blog, aku punya 4 buku harian. Buku harian pertama kudapat waktu menang lomba menggambar anak SD. Jadi kira-kira kelas 3 SD aku mulai menulis di buku harian itu. Isinya ya benar-benar menulis kegiatanku hari itu apa saja. Masih anak-anak banget. Misalnya, “Hari ini aku main monopoli di rumah Muti sambil nunggu dijemput Ibu.” Buku harian itu habis tepat saat aku lulus SD.

Buku harian kedua aku kasih nama “Diary of mayhem”. Menginjak SMP, yah namanya masa puber, banyak gejolak emosi. Pun banyak kejadian yang membuat jiwaku yang masih belasan tahun itu benar-benar terpukul. Aku mulai menulis rekaman-rekaman kejadian itu serta menjelaskan emosi apa yang waktu itu kurasakan. Kadang-kadang aku menyelipkan kata-kata motivasi yang kudapat dari teman atau nasehat seseorang sebagai penutup rekaman kejadian itu.

Di kelas 3 SMP aku mulai kena cinta monyet jadi di akhir-akhir buku harian juga suka terselip cerita mengenai persinggungan aku dengan kecengan. Persinggungan ya, cuma seremeh “Aku duduk di depan dia” pun aku tulis saking senengnya. Kalau dibaca lagi sekarang sih jatuhnya norak. Padahal dulu pas nulis tuh rasanya lagi jadi penulis novel, detail banget dan yakin suatu saat tulisan itu bisa jadi skenario film layar tancap. Di titik ini aku mulai merasa menulis menjadi suatu kebutuhan karena ada rasa menggebu-gebu, misal pengen ngobrol sama kecengan, yang tidak berani kulakukan. Jadilah semua perasaan dan keinginan yang terkungkung itu tumpah ruah jadi sebuah tulisan dan pada akhirnya, entah kenapa, ada perasaan lega. Mungkin itulah sebabnya antara aku dan kecengan ini tidak pernah terjadi apa-apa, hahaha…

“Diary of love” nama buku harian ketigaku. Kebayanglah isinya, pasti banyak soal cinta-cintaan. Yah soalnya di SMA inilah aku mulai pacaran sama 1 orang dan jelas bukan sama kecengan waktu SMP. Hubunganku sama 1 orang ini banyak menguras emosi dan air mata. Jadi biasanya tulisanku dimulai dengan rentetan emosi, lama-lama bercerita soal kronologis kejadian yang terkait, dan secara tidak sadar biasanya aku menulis solusinya. Intinya dengan menulis membantuku berpikir secara jernih dan runtut.

Pernah juga, saking emosinya terhadap suatu kejadian (dan bukan tentang pacar), aku menulis dengan huruf yang sangat besar, acak-acakan dan penuh penekanan sampai hampir robek kertasnya. Lucunya, semakin aku menulis lebih banyak kata, ukuran hurufnya makin kecil dan tekanannya berkurang sampai akhirnya tulisanku normal kembali dan isinya penuh kata-kata yang memotivasi. Dari yang awalnya menulis sambil berurai air mata, di akhir tulisan aku sudah siap menghadapi hari selanjutnya.

Sejak tulisan itulah aku mulai merasa menulis menjadi sebuah aktivitas wajib kapanpun aku merasa penuh emosi, terutama emosi negatif. Setelah menulis pikiranku menjadi lebih tenang (apalagi kalau setelahnya langsung tidur), soalnya aku senang menulis malam. Menulis menjadi sebuah laporan bagi diriku sendiri dan tidak jarang aku menulis dialog dengan diri sendiri.

Aku baru sadar sekarang. Setelah dipikir-pikir, sampai SMP aku sangat pemarah. Kemarahanku tidak pandang bulu serta situasi. Setelah marah aku bisa menangis dan berteriak histeris seperti orang gila, padahal cuma gara-gara digoda sama teman. Kalau bukan karena menulis sebagai bagian dari pendewasaan diri, mungkin aku yang sekarang lebih banyak berperilaku buruk.

Menulis membuatku tenang dan meningkatkan kontrol diri. Aku tidak sadar hal tersebut sampai pengajar di kelasku bilang bahwa menulis bisa menjadi terapi. Sekarang semuanya jelas dan beralasan.

Aku tidak menyarankan mentah-mentah untuk menulis sebagai kegiatan utama terapi. Toh terapi bisa berbagai macam bentuknya, cuma kebetulan yang cocok bagiku adalah sesederhana menulis.

3 thoughts on “Menulis sebagai Terapi”

  1. woghhh ceritanya bagus ras jadi penasaran sama buku harian kamu yg dulu, coba di upload dikit gitu, selembar dualembar, hehehehe..

    jadi semua pembaca disini bisa ngerasain fell dulu gimana gitu..
    ah sayang anakl cowo rata-rata ga punya buku dairy, hemm mungkin karna identik buat cewe kali yah.
    dan kalau ketauan punya bisa jadi bahan bully seumur hidup (padahal sih cuek2 aja)

    anyway tampilan blognya ganti.. knp ras?
    dan skrng ada lagi efek saljunya, meski sama bgt warnanya kaya background..

    anyway nice story 😉

  2. bagus sekali artikelnya…menulis diary bisa menjadi sarana untuk kontrol diri, berpikir runtut dan menjenihkan kepala…saya sendiri rutin menulis diary dan sungguh merasakan manfaatnya untuk kesehatan mental dan emosi…terima kasih..

Leave a reply to Boni Sindyarta Cancel reply